expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 06 Januari 2017

Review Jurnal Kelompok

MAKALAH
PSIKOLOGI INTERNET
(Internet Addiction)



Oleh:
Aldo Yoshua Sipahutar (10515477)
Dela Marthariani (11515652)
Gita Febrianto (17515770)
Mikhael Damanik (14515176)
Radita Ayuningtyas (15515568)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK

2016


BAB I

1.1.      Latar Belakang Masalah
                        Internet diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia, mengakses segalanya dengan lebih cepat dan praktis. Banyak sekali kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh internet yang membuat banyak orang menjadi tergiur untuk menggunakannya. Tidak heran jika jumlah dari pengguna internet kini kian hari kian meningkat.
Jika kita lihat, saat ini banyak sekali orang-orang di sekitar kita yang tidak dapat lepas dari gadget-nya. Bahkan disaat sedang berjalan maupun sedang berbincang dengan orang lain perhatian mereka tidak lepas dari gadget mereka masing-masing.
Saya memiliki suatu pengalaman pribadi disaat saya sedang berkumpul dan bercengkrama dengan beberapa teman saya tiba-tiba saya mendapat bbm (blackberry messenger). Disaat itu saya terpaku oleh bbm saya lalu sekitar 15 menit kemudian ketika saya memalingkan wajah saya dan melihat teman-teman disekeliling saya, tanpa disadari ternyata kita semua sedang asyik dengan gadget kita masing-masing.
Internet menjadi teman yang paling setia dan paling dibutuhkan. Memang, tidak dapat kita pungkiri perkembangan zaman juga menuntut kita untuk menggunakan internet. Namun, jika kita tidak dapat membatasinya maka hal ini dapat menimbulkan suatu gangguan yang sering disebut oleh para ahli jiwa sebagai Internet Addiction Disorder (IAD) atau gangguan kecanduan internet.

BAB II

2.1.      Teori
Griffiths (1998) telah mencantumkan enam dimensi untuk menentukan apakah individu dapat digolongkan sebagai pecandu internet. Dimensi-dimensinya adalah sebagai berikut:
  • Salience. Hal ini terjadi ketika penggunaan internet menjadi aktivitas yang paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran individu (pre-okupasi atau gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh),dan tingkah laku (kemunduran dalam perilaku sosial). Individu akan selalu memikirkan internet, meskipun tidak sedang mengakses internet. 
  • Mood modification. Hal ini mengarah pada pengalaman individu sendiri, yang menjadi hasil dari bermain internet, dan dapat dilihat sebagai strategi coping. 
  • Tolerance. Hal ini merupakan proses dimana terjadinya penigkatan jumlah penggunaan internet untuk mendapatkan efek perubahan dari mood. 
  • Withdrawal symptoms. Hal ini merupakan perasaan tidak menyenangkan yang terjadi karena penggunaan internet dikurangi atau tidak dilanjutkan (misalnya, mudah marah, cemas, tubuh bergoyang). 
  • Conflict. Hal ini mengarah pada konflik yang terjadi antara pengguna internet dengan lingkungan sekitarnya (konflik interpersonal), konflik  dalam tugas lainnya (pekerjaan, tugas, kehidupan sosial, hobi) atau konflik yang  terjadi  dalam  dirinya  sendiri  (konflik  intrafisik atau  merasa kurangnya kontrol) yang diakibatkan karena terlalu banyak menghabiskan waktu bermain internet.
  • Relapse. Hal ini merupakan kecenderungan berulangnya kembali pola penggunaan internet setelah adanya kontrol. 

Young (1996) membagi kecanduan internet dalam 3 tingkatan, yaitu: 
  • Mild. Pada tingkatan ini individu termasuk dalam pengguna online rata-rata. Individu menggunakan internet dalam waktu yang lama, tetapi individu memiliki kontrol dalam penggunaannya. 
  • Moderate. Pada tingkatan ini individu mulai sering mengalami beberapa permasalahan dari penggunaan internet. Internet merupakan hal yang penting, namun tidak selalu menjadi yang utama dalam kehidupan. 
  • Severe. Pada tingkatan ini individu mengalami permasalahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Internet merupakan hal yang paling utama sehingga mengabaikan kepentingan-kepentingan yang lain. 



Young, Pistner, O’Mara & Buchanan, (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi kecanduan internet adalah

a. Gender 
Gender mempengaruhi jenis aplikasi yang digunakan dan penyebab individu tersebut mengalami kecanduan internet. Laki-laki lebih sering mengalami kecanduan terhadap game online, situs porno, dan perjudian online, sedangkan perempuan lebih sering mengalami kecanduan terhadap chatting dan berbelanja secara online. 

b. Kondisi psikologis 
Survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 50% individu yang mengalami kecanduan internet juga mengalami kecanduan pada hal lain seperti obat-obatan terlarang, alkohol, rokok dan seks. Kecanduan internet juga timbul akibat masalah-masalah emosional seperti depresi dan gangguan kecemasan dan sering menggunakan dunia fantasi di internet sebagai pengalihan secara psikologis terhadap perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan atau situasi yang menimbulkan stress. Berdasarkan hasil survey ini juga diperoleh bahwa 75% individu yang mengalami kecanduan internet disebabkan adanya masalah dalam hubungannya dengan orang lain, kemudian individu tersebut mulai menggunakan aplikasi-aplikasi online yang bersifat interaktif seperti chat room dan game online sebagai cara untuk membentuk hubungan baru dan lebih percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain melalui internet.

c. Kondisi sosial ekonomi 
Individu yang telah bekerja memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kecanduan internet dibandingkan dengan individu yang belum bekerja. Hal ini didukung bahwa individu yang telah bekerja memiliki fasilitas internet di kantornya dan juga memiliki sejumlah gaji yang memungkinkan individu tersebut memiliki fasilitas komputer dan internet juga dirumahnya. 

d. Tujuan dan waktu penggunaan internet 
Tujuan menggunakan internet akan menentukan sejauh mana individu tersebut akan mengalami kecanduan internet, terutama dikaitkan terhadap banyaknya waktu yang dihabiskannya sendirian di depan komputer. Individu yang menggunakan internet untuk tujuan pendidikan, misalnya pada pelajar dan mahasiswa akan lebih banyak menghabiskan waktunya menggunakan internet. Umumnya, individu yang menggunakan internet untuk tujuan pendidikan mengalami kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami kecanduan internet. Hal ini diakibatkan tujuan penggunaan internet bukan digunakan sebagai upaya untuk mengatasi atau melarikan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya di kehidupan nyata atau sekedar hiburan.





BAB III

3.1.      Kasus
·         Kecanduan Twitter
Seorang pria yang merupakan editor di sebuah majalah pria ternama harus kehilangan keluarga dan pekerjaannya karena menjadi pecandu Twitter. Karena melanggar peraturan social media di perusahaannya, pria ini diminta untuk menghapus akun Twitternya.Namun ternyata pria ini lebih memilih Twitternya dan dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja. Setelah itu dia juga bercerai dengan istrinya setelah menulis pesan di Twitter jika dia ingin sekali menembak istrinya.”Dulu aku rela menerima tembakan demi istriku, tapi sekarang rasanya aku yang ingin menembaknya,” inilah yang ditulisnya di akun Twitter.

·         Sakit di Pergelangan Tangan karena terlalu lama bermain Whatsapp
Seorang wanita harus berakhir di rumah sakit setelah kebanyakan mengirim pesan melalui Whatsapp saat liburan Natal. Menurut The Lancet, wanita berusia 34 tahun yang sedang hamil 27 minggu ini dirawat karena nyeri hebat yang dirasakan di pergelangan tangan.Wanita ini tidak punya sejarah trauma dan juga tidak melakukan olahraga berat sehari sebelumnya. Namun, pada libur hari Natal 2013, calon ibu ini menghabiskan waktu 6 jam untuk menggenggam HPnya dan mengirim pesan dengan jumlah yang super banyak.

BAB IV

4.1.      Pembahasan
                        Kecanduan internet diartikan Young (1998) sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online. Young (Essau, 2008) juga menyatakan bahwa kecanduan internet sama seperti perilaku kecanduan lainnya, yang berisi tingkah laku yang kompulsif, kurang tertarik terhadap aktivitas-aktivitas yang lain, dan meliputi symptom-symptom fisik dan mental ketika berusaha untuk menghentikan tingkah laku tersebut. Griffiths (1998) mendefinisikan kecanduan internet sebagai tingkah laku kecanduan yang meliputi interaksi antara manusia dengan mesin tanpa adanya penggunaan obat-obatan. Orzack (dalam Mukodim, Ritandiyono & Sita, 2004) menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan suatu kondisi dimana individu merasa bahwa dunia maya di layar komputernya lebih menarik daripada kehidupan nyata sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecanduan internet adalah tingkah laku kompulsif, kurang tertarik dengan aktivitas lain, merasa bahwa dunia maya di layar komputer lebih menarik sehingga menghabiskan banyak waktu dalam menggunakan internet serta meliputi symptom-symptom fisik dan mental ketika tingkah laku tersebut ditunda atau dihentikan.













BAB V

5.1. Kesimpulan
Istilah “Kecanduan Internet,” “Gangguan Kecanduan Internet,” “Patologis Penggunaan Internet,” “Permasalahan penggunaan internet,” “Penggunaan Internet berlebihan,” dan “Penggunaan Internet Kompulsif” semua telah digunakan untuk menggambarkan kurang lebih konsep yang sama, yaitu, bahwa seorang individu bisa begitu terlibat dalam penggunaan online mereka sebagai mengabaikan kehidupan mereka. Namun, tampaknya terlalu dini pada tahap ini menggunakan satu label untuk konsep, karena sebagian besar penelitian yang dilakukan di lapangan sejauh ini disajikan berbagai tingkat perbedaan dan hasil yang bertentangan.
Griffiths (2000a) menyatakan bahwa sebagian besar orang yang menggunakan Internet berlebihan tidak kecanduan internet itu sendiri, tetapi menggunakannya sebagai media untuk bahan kecanduan lainnya. Griffiths (2000a) mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk membedakan antara kecanduan internet dan kecanduan di Internet. Dia memberikan contoh seorang pecandu judi yang memilih untuk terlibat dalam perjudian online, serta pecandu permainan komputer yang memainkan online, menekankan bahwa internet adalah tempat di mana mereka melakukan yang dipilih (adiktif) perilaku mereka. Orang-orang ini menampilkan kecanduan di Internet. Namun, ada juga pengamatan bahwa beberapa perilaku yang bergerak di di Internet (misalnya, cybersex, cyberstalking) mungkin perilaku yang orang akan hanya melaksanakan di Internet karena media adalah anonim, tidak tatap muka, dan disinhibisi (Griffiths, 2000c, 2001).
Sebaliknya, ia juga mengakui bahwa ada beberapa studi kasus yang tampaknya melaporkan kecanduan internet itu sendiri (misalnya, Young, 1996b; Griffiths, 2000b). Sebagian besar orang menggunakan fungsi internet yang tidak tersedia di media lainnya, seperti chat room atau berbagai permainan peran-bermain. Orang-orang ini tampaknya kecanduan internet karena mereka melakukan kegiatan yang menggunakan fitur istimewa dari Internet. Namun, meskipun perbedaan-perbedaan ini, tampaknya ada beberapa temuan yang umum, terutama, laporan konsekuensi negatif dari penggunaan internet yang berlebihan (mengabaikan pekerjaan dan kehidupan sosial, kerusakan hubungan, kehilangan kontrol, dll), yang dialami sebanding dengan lainnya, kecanduan lebih mapan. Kesimpulannya, tampak bahwa jika kecanduan internet memang ada, itu hanya mempengaruhi persentase yang relatif kecil dari populasi online. Namun, apa itu di Internet yang membuat mereka kecanduan masih tetap tidak jelas. Yang jelas, adalah bahwa penelitian lebih lanjut masih diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Griffiths, Mark .(1998). Does Internet and Computer 'Addiction' Exist? : Some Case Study Evidence.  http://www.intute.ac.uk/ socialsciences /archive/ iriss/papers/paper47.htm [online: 30 September 2010]
Young, K. (1998). Caught in the Net: How to Recognize the Signs of Internet Addiction and a Winning Strategy for Recovery.New York, NY: Wiley.
Young, Pitsner, O’Mara, & Buchanan. (1998). What Is Internet Addiction?. hhtp://www.netaddiction.com/whatis.htm.[online : 3 April 2010].\

Review Jurnal 2

PENGGANGGU BERGERAK DI LUAR HALAMAN SEKOLAH YANG BERPENAMPILAN AWAL DALAM CYBERBULLYING





Gita Febriyanto
2pa08
17515770



BAB I
A. Latar Belakang
Intimidasi dalam lingkungan sekolah merupakan kepedulian sosial penting yang telah menerima peningkatan perhatian ilmiah dalam beberapa tahun terakhir. Secara khusus, penyebab dan efek telah diselidiki oleh sejumlah peneliti dalam ilmu-ilmu sosial dan perilaku. Sebuah permutasi baru bullying, namun, baru-baru ini muncul dan menjadi lebih umum: siswa Techsavvy yang beralih ke dunia maya untuk melecehkan rekan-rekan mereka. Artikel eksplorasi ini membahas sifat bullying dan transmutasi dengan dunia elektronik dan dampak negatif yang dapat menimpa kedua korban dan penghasut. Selain itu, temuan yang dilaporkan dari studi percontohan yang dirancang untuk secara empiris menilai sifat dan tingkat intimidasi online.

Meskipun mereka dimaksudkan untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, aspek negatif selalu muncul sebagai produk sampingan dari pengembangan teknologi baru seperti ini. Efek negatif yang melekat dalam cyberbullying, meskipun, tidak sedikit atau sepele dan memiliki potensi untuk menimbulkan psikologis, emosional, dan sosial bahaya serius. Ketika mengalami antara anggota yang sangat dipengaruhi dan sering menguap populasi remaja ini, bahaya ini bisa mengakibatkan kekerasan, cedera, dan bahkan kematian (misalnya, Meadows et al, 2005;.Vossekuil, Fein, Reddy, Borum, & Modzeleski, 2002) dan kemudian kriminalitas untuk kedua inisiator dan penerima bullying (misalnya, Olweus,Limber, & Mihalic, 1999; Patchin, 2002). Salah satu akun anekdot terutama menghebohkan layak menyebutkan.

Pada bulan Mei 2001, Pesan kejam ofensif merendahkan dan mempermalukan seorang gadis mahasiswa tingkat dua sekolah tinggi yang menderita obesitas dan multiple sclerosis dipublikasikan secara anonim ke papan pesan online yang berhubungan dengan sekolah menengah setempat di Dallas, Texas (Benfer, 2001). Dalam waktu, bullying menyeberang ke dunia fisik sebagai mobil korban dirusak, profanities ditulis di trotoar di depan rumahnya, dan sebotol penuh dengan asam dilemparkan pintu- depan rumahnya yang notabene dibakar ibunya.

B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan ini dengan menjelajahi cyberbullying dan memeriksa potensinya untuk menjadi seperti bermasalah karena intimidasi-terutama tradisional dengan meningkatnya ketergantungan masyarakat pada teknologi.
            Tujuannya adalah untuk menerangi bentuk novel ini penyimpangan berasal dari persimpangan komunikasi dan komputer dan untuk memberikan latar belakang dasar yang penelitian empiris di masa depan dapat dilakukan. Pertama, apa yang diketahui tentang bullying tradisional akan diringkas untuk memberikan titik perbandingan referensi.
            Kedua, data yang dikumpulkan dari berbagai sumber media akan disajikan untuk menggambarkan teknologi yang memfasilitasi intimidasi elektronik dan untuk menggambarkan prevalensi. Ketiga, temuan awal dari studi percontohan pengguna internet remaja akan disajikan, menyoroti karakteristik dari kelompok ini dan keterlibatan mereka (baik sebagai korban dan pelaku) dalam kegiatan ini. Akhirnya, saran untuk penelitian empiris di masa depan akan ditawarkan sebagai pedoman untuk eksplorasi tambahan materi pelajaran ini.











BAB II.

A. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan penelitian survei yang dilakukan melalui Internet. Peserta yang dipilih sendiri, yang memperkenalkan beberapa bias sebagai individu tidak dipilih secara acak untuk dimasukkan dalam penelitian ini. Seringkali, sampel kenyamanan, di mana individu dipilih karena mereka tersedia (misalnya, karena mereka mengunjungi situs web tertentu dan melihat ajakan untuk partisipasi penelitian), digunakan. Akibatnya, sampel yang diperoleh belum tentu mewakili semua pengguna internet.

B. Sample dan Responden
Subjek dan Responden dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia antara 12 sampai 20 tahun. Dan usia rata-rata dari sample remaja adalah usia 14 tahun. Selain itu, lebih dari 70% responden dari sampel lengkap berada di kelas 2 sampai 12. Responden SMA (9 sampai kelas 12) mewakili kategori modal responden untuk kedua kelompok.
Seperti bisa diduga, sebagian besar dari semua responden datang dari negara Inggris dan sekitar 60% dari responden pada kedua kelompok melaporkan yang tinggal di Amerika Serikat.

C. Alat Ukur yang Digunakan
Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Statistik Deskriptif Responden Survei. Teknik pengambilan data ini diambil untuk mengetahui jumlah data, rata-rata dan hasil data yang diperoleh secara keseluruhan dari survey yang dilakukan kepada para remaja tersebut.




BAB III.

A.Hasil dan Pembahasan
Hasil titik penelitian ini untuk sejumlah isu kunci. Pertama, intimidasi terjadi secara online dan berdampak pemuda dalam banyak hal negatif. Hampir 30% dari responden remaja melaporkan bahwa mereka telah menjadi korban secara online intimidasi-dioperasionalkan sebagai telah diabaikan, tidak dihargai, disebut nama, mengancam, mengangkat, atau mengolok-olok atau telah memiliki rumor yang disebarkan oleh orang lain. Diakui, diabaikan oleh orang lain hanya mungkin mencerminkan perilaku menjengkelkan yang dijamin hasil daripada agresi aktual dan disengaja.
Hal ini karena penerimaan sosial universal sebagian besar masih diinginkan oleh anak-anak dan remaja, bahkan jika sebagai orang dewasa kita memahami bahwa tidak mungkin untuk menyenangkan semua orang setiap saat. Diabaikan akan memperkenalkan disonansi dan ketidakstabilan ke kesetimbanganrelasional dan sosial yang sudah renggang dicari oleh pemuda dan mungkin sesuai dianggap sebagai bentuk pasif-agresif bullying. Sepanjang baris yang sama, meskipun beberapa pelecehan ini dapat dicirikan sebagai sepele (misalnya, diabaikan oleh orang lain atau yang tidak dihargai), lebih dari 20% melaporkan terancam oleh orang lain. Kemarahan dan frustrasi adalah respon emosional yang biasa dilaporkan pelecehan.
B. Kaitan Teori
Mungkin memberikan definisi paling panoptic, Nansel et al. (2001) menegaskan bahwa bullying adalah perilaku agresif atau disengaja "bahaya melakukan" oleh satu orang atau kelompok, umumnya dilakukan berulang kali dan dari waktu ke waktu dan yang melibatkan diferensial kekuasaan. Banyak karakteristik dapat mengilhami pelaku dengan kekuatan yang dirasakan atau aktual lebih korban dan sering memberikan lisensi sophistic mendominasi dan menindih.




BAB IV.

A. Kelemahan dan Kelebihan
Kelemahan dari penelitian ini adalah keterbatasan yang paling menonjol dari penelitian ini berhubungan dengan administrasi karena data dikumpulkan secara eksklusif secara online. Sehubungan dengan sampling, itu perlu dipertanyakan bahwa pengguna internet yang berbeda dari mereka yang tidak online.

B. Kesimpulan
Tinjauan sebelumnya memberikan gambaran bullying di dunia maya untuk tujuan memperkenalkan sebagai topik meriting penyelidikan akademik dan menggarisbawahi sifat merusak yang sering tak terhindarkan. Memang, 74% dari pemuda dalam penelitian ini melaporkan bahwa bullying terjadi secara online, dan hampir 30% dari remaja dilaporkan menjadi korban oleh orang lain saat online.

















Daftar Pustaka
America Online. (2002). AOL facts—2002. Retrieved September 2, 2003, from http://www
.corp.aol.com/whoweare/Factbook_F.pdf
America Online. (2003). Who we are: Fast facts. Retrieved September 2, 2003, from http://www
.corp.aol.com/whoweare/fastfacts.html
BBC News. (2001). Girl tormented by phone bullies. Retrieved January 16, 2001, from http://
news.bbc.co.uk/1/hi/education/1120597.stm
Benfer, A. (2001). Cyber slammed. Retrieved July 7, 2001, from http://www.dir.salon.com/mwt/feature/
2001/07/03/cyber_bullies/index.html
Berson, I. R., Berson, M. J.,&Ferron, J. M. (2002). Emerging risks of violence in the digital age: Lessons
for educators from an online study of adolescent girls in the United States. Journal of
School Violence, 1(2), 51-71.
Björkqvist, K., Ekman, K., & Lagerspetz, K. (1982). Bullies and victims: Their ego picture, ideal ego
picture, and normative ego picture. Scandinavian Journal of Psychology, 23, 307-313.
Blair, J. (2003). New breed of bullies torment their peers on the Internet. Education Week. Retrieved
February 5, 2003, from http://www.edweek.org/ew/ewstory.cfm?slug=21cyberbully.h22
Borg, M. G. (1998). The emotional reaction of school bullies and their victims. Educational Psychology,
18, 433-444.
Brown, M. (1965). Use of a postcard query in mail surveys. Public Opinion Quarterly, 29, 635-637.
Bruvold, N. T., & Comer, J. M. (1988). A model for estimating the response rate to a mailed survey.
Journal of Business Research, 16(2), 101-116.
CD. (2003). Thumbs down on mobile messaging. Retrieved July 22, 2003, from http://
www1.chinadaily.com.cn/en/doc/2003-07/22/content_247257.htm
Cho, H., & LaRose, R. (1999). Privacy issues in Internet surveys. Social Science Computer Review,
14, 421-434.
Coie, J. D.,&Dodge, K. A. (1988). Multiple sources of data on social behavior and social status in the
school: A cross-age comparison. Child Development, 59, 815-829.
Cooley, C. H. (1902). Human nature and the social order. New York: Scribner.
Couper, M. P. (2000). Web-based surveys: A review of issues and approaches. Public Opinion Quarterly,
64, 464-494.
Crawford, S., Couper, M. P., & Lamias, M. (2001). Web surveys: Perceptions of burden. Social Science
Computer Review, 19, 146-162.
Devoe, J. F., Ruddy, S. A., Miller, A. K., Planty, M., Peter, K., Kaufman, P., et al. (2002). Indicators of
school crime and safety. Washington, DC: U.S. Department of Education, National Center for
Education Statistics, U.S. Department of Justice, Bureau of Justice Statistics.
Eicherner, K.,& Habermehl, W. (1981). Predicting the response rates to mailed questionnaires (comment
on Herberlien & Baumgartner). American Sociological Review, 46, 1-3.
Farrington, D. (1980). Truancy, delinquency, the home, and the school. In L. Hersov& I. Berg (Eds.),
Out of school: Modern perspectives in truancy and school refusal (pp. 49-63). New York: John
Wiley.
Fattah, H. (2003). America untethered. Retrieved September 1, 2003, from http://www.upoc.com/
corp/news/UpocAmDem.pdf
Finn, J. (2004). A survey of online harassment at a university campus. Journal of Interpersonal Violence,
19, 468-483.
French, D. C., & Waas, G. A. (1987). Social-cognitive and behavioral characteristics of peer-rejected
boys. Professional School Psychology, 2(2), 103-112.